LITERATURE RIVIEW 20 JURNAL

 

SEMIOTIKA PERFILMAN

 

JURNAL 1

Judul : Filem sebagai proses kreatif dalam bahasa Gambar.

Penulis : Teguh Imanto.

link : https://komunikologi.esaunggul.ac.id/index.php/KM/article/view/35/35

jurnal ini berisi mengenai  film merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur dian-
taranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan gambar sebagai bentuk
visualisasinya. Film selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya, juga sebagai alat komu- nikator yang efektif. Ia dapat meng- hibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran dan mem- berikan dorongan, serta pengalaman pengalaman baru yang tersirat dalam
makna yang divisualisasikan lewat gambar-gambar yang manarik. Pada awal sejarah film, para
sineas semacam Lumiere film yang dibuatnya hanya berkonsep merekam kenyataan yang ada, seperti para pekerja pabrik yang meninggalkan aktifitasnya, suatu peristiwa yang dire- kamnya tanpa menceritakan kisa apapun atau suatu cerita yang telah direncanakan. Tetapi beberapa tahun kemudian oleh George Milles mengu- bah kenyataan yang naïf itu menjadi suatu kisah yang dibumbui oleh fantasi yang menarik. Hasil dari olahan Milles dari kenyataan menjdi suatu tontonan yang penuh dengan dunia impian. Seiring dengan perkembangan popu- lernya aliran “Surealisme”, yaitu sebuah aliran dalam dunia keseni- rupaan yang berkonsep pada takbir mimpi dengan dipenuhi oleh daya fantasi itu, maka perkembangan film tak lepas dari pengaruhnya, Berbagai macam konsep cerita yang berbau fantasi tercipta hingga Amerika dibawah sentuhan pemikiran dan tangan Edwin. S terlahir teknologi editing sejajar (parallel editing) dan teknologi penciptaan gambar bergerak semakin sempurna ketika D.W.Grith di tahun 1903 menciptakan teknik pengambilan gambar melalui kamera dengan nama Close Up, Tracking dan Planning sehingga hasil gambar yang terbidik menjadi semakain dinamis.

Metode 

jenis penelitian ini, termasuk dalam jenis penelitian deskritif, eknik penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan suatu fenomena dari masa lalu hingga masa kini dengan berdasarkan pada catatan dan sumber sejarah yang ada, Dengan menggunakan pendekatan semiotika, kita dapat memahami bagaimana tanda-tanda dalam film berkembang dari waktu ke waktu dan bagaimana mereka mencerminkan perubahan dalam teknologi, budaya, dan masyarakat. Ini membantu kita untuk melihat film bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium komunikasi yang kompleks dan bermakna.

Hasil

jadi bisa dibilang film merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur dian- taranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan gambar sebagai bentuk visualisasinya, dan filem juga mengalami perubahan seiring jaman, dengan banyaknya jenis jenis, unsur unsur, pda filem itu yang membat sebuah filem memiliki banyak fariasi dan bagaimana tanda - tanda dalam filem berkembang. dan Selain film sebagai sarana pencurahan ekspresif sang penciptanya, namun film juga sebagai alat
komunikator massa, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pembuatan seharusnya berpegang pada etika-etika yang ada di masya- rakat. Karena sebuah film diciptakan untuk ditonton oleh masyarakat dan bukan untuk perorangan. 

 

JURNAL 2

Judul : Bunkasai, Kajian Semiotika Budaya Kontemporer dari Pengaruh Film Jepang.

Penulis : Tradi Sya Dian

link : https://scholar.archive.org/work/i6icomjtdjcate3svxcdgxjcna/access/wayback/http://e-

Teori

dikatakan bahwa film sebagai suatu teks sinematik telah memperluas kategori-kategori yang dibuat oleh bahasa dengan menggabungkan dialog, usik, adegan dan peran dalam suatu caranya yang kohesif. Film lebih tepat sebagai suatu media penggabungan yang dibuat oleh penanda herbal dan non verbal, Festival budaya dalam bahasa inggris Cultural Festival dalam bahasa Jepang Bunkassai merupakan salah satu festival yang cukup terkenal. Bunkasai diadakan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, di jepang, dan sebelummya BUNKASAI tidak terlalu terkenal di luar jepang namun semenjak anime dan manga banyak yang memasukkan festival-festival, termasuk bunkasai, kegiatan ini sudah mulai dikenal oleh orang luar, jadi filem jepang di sini sangat mempengaruhi Bunkasai ini di kenal oleh orang di luar jepang.

Metode 

metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini kualitatif yang biasanya melibatkan pengumpulan dan analisis data yang bersifat deskriptif dan non-numerik, seperti teks, gambar, atau rekaman audio. Penelitian ini mungkin melibatkan wawancara, observasi, atau analisis teks untuk memahami konteks budaya.

Hasil

Hasil dari penelitian ini adalah sebuah filem atau juga sebuah budaya atau informasi yang terkandung pada sebuah fiem dapat mempengaruhi, yang tadinya sesuatu yang tidak dikenal menjadi sesuatu yang dikenal luas.

Jurnal 3

Judul : pengaruh filem Alternatif terhadap emosi

penulis : Ananda Sevma Ardyaksa, Thomas Dicky Hastjarjo

link : https://journal.ugm.ac.id/gamajop/article/view/31863/19330

Teori

Penelitian ini mengkaji sebuah penelitian mengenai pengaruh filem terhadap emosi seseorang Melalui studi laboratorium, film mampu menimbulkan emosi sedih sekali gus bersam sama perilaku menangis (Marston, Hart, Hileman, & Faunce, 1984).Emosi emosi yang yang meningkat setelah menonton film di antaranya kegirangan, marah, jijik, sedih, terkejut, dan senang. Riset mengenai psikologi dan film seringkali bersetting di laboratorium, seperti penelitian Lazarus, Speisman, Mordkoff, dan Davison (1962) yang meneliti pengaruh film terhadap stres psikologi. Dua dekade setelah penelitiannya Mc Hugo, Smith, dan Lanzetta (1982) menyusun struktur self report mengenai respon emosional terhadap cuplikan cuplikan film.

 

Film alternatif bersinonim dengan film independen. Beberapa dekade lalu, istilah independen’ menjadi problematika hubungan antara orang orang Hollywood dan orang orang independen itu sendiri (Levy, 1999). Chris Hanley adalah salah satu pionir orang independen yang tidak pernah mem buat film lebih dari 5 juta dollar. Istilah ‘indie’ merupakan kepen dekan dari kata ‘independen. Kata ‘indie kerap dipakai di kalangan sineas muda dan beberapa komunitas film independent (Ramli & Fathurahman, 2005). Film alternatif juga kerap disepadankan dengan istilah avant garde dan film eksperimental (Prakosa, 1997). Menurut Ramli & Fathurahman (2005), film alternatif tidak tergantung aspek komer sial dan berusaha menampilkan fenomena masyarakat.

Metode

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. dalam eksperimen ini memuat atau lebih kelompok subjek. Desain ini memisahkan tiga kelompok berdasarkan perlakuan yang akan diberikan. Subjek penelitian ini  ditugaskan secara tidak acak dengan membagi rata tiap kelompok berdasarkan preferensi subjek terhadap film alternatif dan film non alternatif.

Hasil

mengindikasikan bahwa tidak  terdapat perbedaan emosi yang signifikan antara kelompok alternatif, kelompok  mainstream, dan kelompok kontrol. Hipotesis pertama penelitian ini punditolak. Uji lanjutan tidak perlu dilakukan sebab hipotesis pertama yang ditolak sehingga secara otomatis tidak akan ada perbedaan yang signifikan dari perbandingan antara dua kelompok. Tiga hipotesis dalam penelitian ini ditolak.

 

JURNAL 4

Judul : Ppengaruh Sinetron Televisi dan filem terhadap Remaja

penulis : Carmia Diahloka

link :  https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/reformasi/article/view/15

Teori 

Program televisi memiliki banyak keunggulan, seperti menyajikan gambar menarik dan berwarna yang hanya dapat dinikmati di televisi. Berbeda dengan radio yang hanya mengandalkan pendengaran, televisi memanjakan mata dan telinga dengan harmonisasi warna, suara, dan gambar. Alur cerita sinetron, salah satu program unggulan TV swasta di Indonesia, sering kali membuat penonton terbawa perasaan. Tayangan melankolis seperti sinetron atau film membuat pemirsa ikut merasakan emosi yang dialami oleh aktor dalam cerita tersebut (Kuswandi, 1996).

 Federasi Kesehatan Mental Indonesia (Fekmi) menemukan remaja mulai mengenal tempat
maksiat, perilaku minum minuman keras, merokok, dan narkoba. Ada yang terbaru dan
mencemaskan dalm survey ini. Indikasi perilaku remaja bermasalah sudah muncul pada remaja
awal sekitar usia 11-14 tahun menurut Doddy ( pakar dari Fekmi) dalam “Seminar Gangguan Emosi
dan Perilaku pada Anak dan Remaja” di Jakarta, 6 Oktober 2008. Patut dicatat pula, 79 persen
remaja mencemaskan penampilan. Ini bisa dipahami karena model rambut dan pakaian cepat
berubah. Sementar sang remaja ingin tampil trendi. Tak dipungkiri pula ini banyak pengaruh dari
iklan. Buntut kecemasan yang melanda remaja, Tisna mengungkap, sebanyak 13,1 persen
menggunakan obat penenang. Hanya, angka ini tak mengungkap lebih jauh obat penenang yang
dimaksudkan.

Dari hasil analisis uji pengaruh parsial, terbukti bahwa ada pengaruh yang bermakna
(signifikan) antara variabel bebas, yaitu judul film (X5), aktor & aktris (X6), adegan mesra (X7),
dengan variabel terikat variabel perkembangan moral remaja (Y1). Lebih lanjut dari hasil analisis
uji pengaruh parsial adegan mesra (X7) adalah variabel yang paling signifikan mempengaruhi
perkembangan moral remaja (Y1), hal ini terbukti dari nilai koefisien regresi (b) variabel kebutuhan
sosial (X7) paling besar dibandingkan variabel bebas (X) lainnya. 

Metode

enelitian tentang pengaruh sinetron televisi dan film terhadap perkembangan moral remaja in
menggunakan jenis penelitian eksplanatoris dengan menjelaskan hubungan antar variable serta di
dukung dengan angket.
Sejalan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini termasuk kategori
penelitian eklsplanatoris yang menurut Subagyo (1999:29) adalah penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menerangkan tentang suatu gejala dan keadaan yang diteliti seperti apa adanya
dengan sekaligus menerangkan latar belakang yang menimbulkan gejala dan keadaan tersebut.

JURNAL 5

Judul : An Analysis of Idiomatic Expression in a Movie Bohemian Rhapsody

Penulis :Yohanes Edison Ino

LINK : http://eprints.unmas.ac.id/id/eprint/4773/

Tujuan 

Penelitian ini bertujuan untuk meninjau jenis-jenis idiom yang digunakan dalam film "Bohemian Rhapsody" dan untuk mengidentifikasi makna-makna yang terkandung di dalamnya.

"Bohemian Rhapsody" adalah sebuah film biografi musikal yang dirilis pada tahun 2018, yang disutradarai oleh Bryan Singer (dan sebagian kecil oleh Dexter Fletcher setelah Singer dipecat) dan diproduksi oleh Graham King. Film ini menggambarkan kisah hidup Freddie Mercury, vokalis utama band legendaris Queen.

Sinopsis

Film ini dimulai dengan menunjukkan kehidupan awal Freddie Mercury (diperankan oleh Rami Malek), yang pada awalnya bernama Farrokh Bulsara, di London pada tahun 1970-an. Dia bekerja sebagai penjual barang bekas dan juga menjadi penggemar musik yang berbakat. Suatu malam, dia bertemu dengan Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy), dua anggota band yang sedang mencari vokalis baru. Freddie berhasil bergabung dengan band tersebut bersama dengan John Deacon (Joseph Mazzello), dan mereka membentuk band Queen.

Film ini mengikuti perjalanan karier Queen, menyoroti momen-momen penting seperti rekaman album legendaris mereka, penampilan di panggung penting seperti Live Aid pada tahun 1985, serta konflik internal dalam band dan kehidupan pribadi Freddie.

"Bohemian Rhapsody" tidak hanya menampilkan performa musik yang luar biasa dari Queen, tetapi juga menyajikan cerita tentang perjalanan pribadi Freddie Mercury, termasuk perjuangannya dengan identitas seksualnya dan konflik di dalam band. Rami Malek memenangkan Academy Award untuk Aktor Terbaik atas penampilannya yang mengesankan sebagai Freddie Mercury. Film ini meraih sukses komersial yang besar dan mendapat pujian karena penggambaran akurat tentang kehidupan dan karya Queen.

 Metode 

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelusuran literatur yang relevan yang membahas teori dan konsep terkait jenis-jenis idiom dan maknanya. Penelitian ini mengacu pada dua teori utama.
Teori Jenis Idiom  Odell & McMcarthy (2010) dalam bukunya "English Idioms in Use" digunakan untuk mengklasifikasikan jenis-jenis idiom yang ditemukan dalam film "Bohemian Rhapsody". Teori Makna  Leech (1981) dalam karyanya "Semantic: The Study of Meaning" digunakan untuk memahami makna dari jenis-jenis bahasa kiasan yang digunakan dalam film tersebut. 

Hasil

Hasil penelitian dari literatur menunjukkan bahwa film "Bohemian Rhapsody" mengandung berbagai jenis idiom, termasuk simile, binomial, peribahasa, eufemisme, klise, dan pernyataan tetap. Analisis juga mengungkapkan berbagai makna ekspresi idiomatik, seperti makna konotatif, makna konseptual, makna afektif, dan makna tercermin.
Melalui pendekatan literature review ini, penelitian dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang penggunaan idiom dalam film "Bohemian Rhapsody" dan memperkaya pemahaman tentang bagaimana idiom digunakan untuk menyampaikan makna dalam konteks film tersebut.


JURNAL 6

Judul : Ideologi megalomania terhadap simbol S dalam filem superman sebagai bentuk propaganda

Penulis : Reva Rinanda Siregar

link : https://www.neliti.com/publications/32120/ideologi-megalomania-terhadap-simbol-s-dalam-film-superman-sebagai-bentuk-propag

Tujuan

Penelitian tentang peran simbolisme dalam film sebagai media komunikasi massal merupakan topik yang menarik dalam studi budaya populer. Salah satu film yang menarik untuk dianalisis dalam konteks ini adalah Superman, yang secara simbolis merepresentasikan kekuatan dan identitas Amerika Serikat melalui kostumnya yang ikonik dengan simbol "S".
Film bukan sekadar hiburan semata, tetapi juga sarana yang kuat untuk menyampaikan pesan-pesan simbolik yang dapat memiliki dampak sosial dan politik yang signifikan. Melalui simbolisme yang ditampilkan dalam film, pesan-pesan tersebut dapat dengan mudah diinterpretasikan dan diinternalisasi oleh penonton, menciptakan persepsi dan identifikasi yang kuat dengan nilai-nilai yang direpresentasikan.
 

Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam konstruksi pikiran yang mendasari simbol "S" dalam film Superman, dengan fokus pada bagaimana simbol tersebut merepresentasikan Amerika Serikat sebagai kekuatan super. Dengan menggunakan pendekatan postmodernisme, penelitian ini akan mengeksplorasi kompleksitas dan konsekuensi dari konstruksi simbolisme dalam konteks diplomasi budaya dan pengaruh media massa.
Melalui analisis yang mendalam terhadap simbolisme dalam film Superman, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan baru tentang dinamika kekuasaan, identitas budaya, dan persepsi global terhadap Amerika Serikat dalam era kontemporer.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode analitik-deskriptif dengan data yang diperoleh dari internet, jurnal, dan buku. Data-data tersebut kemudian dikumpulkan, disimpulkan, dan dianalisis menggunakan pendekatan postmodernisme untuk menjelajahi konstruksi pikiran yang mendasari simbol "S" dalam film Superman.

Hasil 

Hasil penelitian menggambarkan bahwa simbol "S" dalam film Superman mencerminkan ideologi Megalomania yang tersembunyi yang menggambarkan Amerika Serikat sebagai negara super. Melalui simbol ini, Amerika Serikat memperluas pengaruhnya dan memperkuat diplomasi budayanya di seluruh dunia. Namun, penelitian ini mencoba untuk membuka wacana dan menyelidiki konstruksi pikiran yang mendasari simbol tersebut agar tidak terperangkap dalam narasi yang dibangun oleh media massa.


JURNAL 7

Judul : Representasi Ageisme Dalam filem Ziarah 2017

Penulis : Nursha Dwi Setyowati, Sumardjijati

Link : https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/mutakallimin/article/view/4811/2932

Tujuan

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis representasi ageisme dalam film "Ziarah" (2017) menggunakan pendekatan analisis semiotik Roland Barthes. Artikel ini akan mengumpulkan data melalui studi pustaka dan literatur untuk menjelaskan bagaimana film tersebut menggambarkan diskriminasi usia.

  1. Analisis Semiotik: Memahami bagaimana simbol-simbol, tanda, dan citra-citra dalam film merepresentasikan diskriminasi usia.

  2. Pengumpulan Data: Mengumpulkan data dari studi pustaka dan literatur tentang konsep ageisme serta analisis film yang relevan.

  3. Tingkatan Analisis: Melakukan analisis denotasi (makna literal), konotasi (makna yang lebih mendalam atau tersembunyi), dan mitos (pola pikir atau asumsi budaya yang mendasari representasi) dari adegan-adegan dalam film.

  4. Perlawanan terhadap Ageisme: Menjelaskan bagaimana film "Ziarah" menunjukkan perlawanan terhadap diskriminasi usia melalui representasi karakter lansia dan pengembangan naratif.

    Metode 

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini Jenis penelitian yang digunakan adalah
    penelitian pustaka yaitu pengumpulan data atau karya ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian atau pengumpulan data perpustakaan. Menurut M. Nazir, penelitian studi kepustakaanmerupakan suatu teknik pengumpulan data melalui studi terhadap buku, literatur, catatan, dan laporan yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipecahkan. 

    Hasil 

    Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ageisme tersebar dan tertanam di masyarakat Indonesia. Namun film “Ziarah (2017)” tidak hanya menunjukkan bahwa ageism itu „ada‟ dan alih-alih membenarkan, film ini menunjukkan perlawanan terhadap ageisme melalui tokoh utamanya, Mbah Sri. Film ini berupaya untuk menyadarkan bentuk-bentuk kesadaran palsu terhadap diskriminasi pada lansia. Film ini meninggalkan akhir yang cukup ambigu dengan tidak menceritakan bagaimana kelanjutan dari Prapto dalam mencari Mbah Sri. Akhir film yangmenggantung ini menegaskan bahwa film ini adalah cerita Mbah Sri, untuk menemukan
    cintanya. Bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi para kaum muda untuk kehidupan mereka selanjutnya (dalam hal ini, Prapto yang hendak menikah). Dengan berbagai analisis tersebut,  penyelesaian gejolak dan permasalahan yang muncul akibat penuaan merupakan perkara yang kompleks, karena tidak mudah merumuskan bentuk-bentuk relasi budaya dan ageisme dalam masyarakat yang memiliki keyakinan dan ideologi yang kuat. Pengalaman orang tua juga berbeda dan unik dan tidak bisa digeneralisasikan. Peran apa yang ditugaskan kepada manula atau sejauh mana topik manula tercakup? Meningkatkan kesadaran, tentu saja, penting untuk mengubah masyarakat menjadi kelompok sosial yang ramah terhadap lansia. 

     

    JURNAL 8 

    Judul: Analisis Semiotika  Film : Marlina Si pembunuh dalam empat babak

    Penulis : mr yoga

    Link : http://repository.unpas.ac.id/49094/

    Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis simbol-simbol yang terkandung dalam film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" dari segi Representamen, Interpretan, dan Objek, dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika berbasis teori Charles Sanders Peirce. Tujuan penelitian ini juga mencakup eksplorasi realitas sosial yang direpresentasikan dalam film serta identifikasi nilai-nilai sosial yang disampaikan melalui simbol-simbol tersebut.

    Metode

    Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan untuk memahami teori semiotika, teori konstruksi realitas sosial, dan konteks film. Selain itu, observasi langsung terhadap film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" dilakukan untuk mengidentifikasi simbol-simbol yang muncul dalam narasi visual. Wawancara dengan pengamat film atau penonton potensial juga dilakukan untuk mendapatkan perspektif tambahan tentang interpretasi simbol-simbol dalam film.

    Hasil

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" mengandung beragam simbol-simbol yang merepresentasikan realitas sosial yang kompleks, termasuk kesenjangan ekonomi, budaya patriarkis, diskriminasi terhadap perempuan, dan eksotisme Tanah Sumba. Analisis semiotik menunjukkan bahwa simbol-simbol ini memiliki representasi (representamen) yang berbeda, interpretasi (interpretan) yang bervariasi, dan objek (hal yang direpresentasikan) yang kompleks. Selain itu, film ini juga menyampaikan nilai-nilai sosial yang penting, seperti keadilan, kekuatan perempuan, solidaritas, dan kemanusiaan.

    Hasil penelitian ini memberikan wawasan yang mendalam tentang cara film "Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak" menggambarkan realitas sosial dan menyampaikan pesan-pesan penting kepada penontonnya. Implikasi dari hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya pemahaman tentang simbol-simbol dalam film serta untuk memicu refleksi dan perubahan sosial yang lebih baik dalam masyarakat.

     

     JURNAL 9

    Judul : ANALISIS SEMIOTIKA PESAN MORAL DALAM DRAMA KOREA “ITAEWON CLASS”

    Penulis : Inggrit Febriani Pardede

    Link : http://jurnal.darmaagung.ac.id/index.php/socialopinion/article/view/1267/1084

    Tujuan

    Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan analisis semiotika terhadap pesan moral yang terkandung dalam drama Korea "Itaewon Class". Dengan memahami konstruksi pesan komunikasi dalam drama tersebut serta aspek semiotika pesan moralnya, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hal-hal yang perlu dipertanyakan lebih lanjut dalam teks atau narasi drama tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk mengungkap makna-makna tersembunyi dalam drama Korea ini, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai moral yang disampaikan kepada penonton.

    Metode 

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Paradigma ini menempatkan pengamatan dan subjektivitas dalam menemukan realitas sebagai fokus utama. Metode penelitian melibatkan analisis teks drama Korea "Itaewon Class" dengan menggunakan kerangka kerja semiotika Roland Barthes. Semiotika Roland Barthes digunakan untuk mengidentifikasi dan menginterpretasi tanda-tanda serta simbol-simbol yang mewakili pesan moral dalam drama tersebut. Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung terhadap drama, analisis teks, dan interpretasi dari perspektif konstruktivis.

    Hasil 

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesan moral yang terdapat dalam drama Korea "Itaewon Class" merupakan representasi nilai-nilai kebaikan yang disesuaikan dengan standar tindakan yang diterima oleh masyarakat umum. Pesan-pesan moral tersebut meliputi gagasan tentang kesatuan sosial, nilai-nilai kemanusiaan, dan hubungan antarindividu dalam lingkungan sosial yang spesifik. Analisis semiotika juga mengungkapkan bagaimana simbol-simbol visual, dialog, dan narasi drama digunakan untuk menyampaikan pesan moral kepada penonton.

    Dengan demikian, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang konstruksi pesan moral dalam drama Korea "Itaewon Class", serta menggali makna-makna yang tersirat dalam narasi dan representasi visualnya.

     JURNAL 10

    Judul : Representasi Perempuan Dalam Film Analisis Semiotika tentang Eksploitasi dan     Subordinasi Perempuan

    Penulis : ASEP TRI SANDY, Novi Kurnia

    LInk : https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/166726

    Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam bagaimana perempuan digambarkan dalam ruang publik sebagai objek eksploitasi dan subordinasi dalam film komedi. Fokusnya terutama adalah pada film "Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2". Penelitian ini menggunakan pisau analisis dari Roland Barthes untuk mengidentifikasi tanda-tanda eksploitasi dan subordinasi dalam film tersebut, kemudian menganalisisnya dengan kategorisasi unit analisis seperti visual, verbal, dan non-verbal.

     Metode

    Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis semiotika, khususnya dengan menggunakan kerangka kerja Roland Barthes. Data dikumpulkan dari film "Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2" melalui pengamatan langsung dan analisis teks. Unit analisis yang digunakan mencakup elemen visual (seperti penampilan karakter perempuan, framing, dan penggunaan warna), verbal (dialog dan narasi), dan non-verbal (gestur, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh). Data kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi tanda-tanda eksploitasi dan subordinasi yang muncul dalam representasi perempuan dalam film komedi in

    Hasil

     Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam film "Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2", terdapat tanda-tanda eksploitasi dan subordinasi yang menggambarkan perempuan dalam ruang publik. Meskipun film ini merupakan film komedi, namun masih terdapat elemen-elemen yang secara implisit mengeksploitasi dan menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi. Representasi perempuan dalam film tersebut masih terjebak dalam stereotip dan tidak mendapat kekuatan untuk mengendalikan dunia perfilman. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun industri perfilman telah mengalami perkembangan, namun masih terdapat masalah yang perlu diperhatikan terkait dengan representasi perempuan dalam film, terutama dalam genre komedi.

     

    JURNAL 11

    JUdul :SEMIOTIKA TANDA VISUAL FILM PENYALIN CAHAYA

    penulis : Renardi Rahadian Oetomo,Tri Cahyo Kusumandyoko

    Link : https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/JDKV/article/view/49246

    Tujuan 

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna dan pesan yang tersirat dalam film "Penyalin Cahaya" terkait problematika kejahatan seksual di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan semiotik berdasarkan teori John Fiske, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana film ini menggambarkan perjuangan korban kejahatan seksual dalam mendapatkan keadilan serta bagaimana media massa, dalam hal ini film, dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat terhadap isu kejahatan seksual.

    Metode

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan semiotik berdasarkan teori John Fiske. Data dikumpulkan melalui observasi langsung terhadap film "Penyalin Cahaya" dan dianalisis menggunakan tiga tahapan analisis semiotik menurut Fiske, yaitu:

Level Realitas: Analisis ini mencakup pengamatan terhadap elemen-elemen nyata dalam film seperti kostum, set, pencahayaan, dan aktor, untuk memahami bagaimana realitas sosial terkait kejahatan seksual direpresentasikan.

Level Representasi: Pada tahap ini, analisis fokus pada bagaimana narasi, dialog, dan struktur cerita film merepresentasikan pengalaman korban kejahatan seksual serta perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan.

Level Ideologi: Tahap ini menganalisis ideologi yang mendasari representasi tersebut, mengidentifikasi ideologi patriarki dan unsur feminisme yang muncul dalam upaya korban untuk speak up dan saling membela

  1.  

    Hasil

    Hasil penelitian mengindikasikan bahwa "Penyalin Cahaya" secara efektif menggambarkan perjuangan korban kejahatan seksual dalam mendapatkan keadilan melalui berbagai elemen visual dan naratif. Analisis pada level realitas menunjukkan bahwa film ini menggunakan elemen-elemen realistis untuk menciptakan atmosfer yang mendalam dan emosional, menggambarkan kesulitan yang dihadapi korban dalam masyarakat yang patriarkal.

    Pada level representasi, film ini menampilkan narasi yang kuat tentang pengalaman korban kejahatan seksual, termasuk tantangan yang mereka hadapi dalam mengungkap kebenaran dan mendapatkan dukungan. Dialog dan interaksi antar karakter menunjukkan kompleksitas situasi yang dihadapi korban, serta upaya mereka untuk mencari keadilan dan dukungan.

    Pada level ideologi, hasil analisis menunjukkan bahwa film ini secara jelas mengkritik ideologi patriarki yang mendominasi masyarakat dan mendukung unsur feminisme, di mana korban, yang mayoritas adalah perempuan, berani untuk speak up dan membela satu sama lain. Film ini menekankan pentingnya solidaritas dan dukungan antar korban sebagai cara untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi yang mereka alami.

     

     JURNAL 12

    JUdul :ANALISIS SEMIOTIKA PESAN MORAL SIKAP DERMAWAN DALAM FILM A MAN CALLED AHOK

    penulis : Nindy Agrecia S. Fakhruddi, oanne Pingkan M. Tangkudung, L eviane J.H. Lotulun

    Link : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurnakomunikasi/article/view/24554

         Tujuan 

         Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana media komunikasi film dapat mengungkapkan pesan moral mengenai sikap dermawan tokoh Basuki Tjahaja Purnama melalui adegan-adegan dalam film "A Man Called Ahok". Dengan menggunakan analisis semiotika, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menginterpretasi makna denotasi, konotasi, dan mitos dari pesan moral yang ditampilkan dalam film tersebut.

             

        Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif interpretatif. Pendekatan ini bertujuan untuk menemukan arti atau jawaban dari data yang diteliti melalui interpretasi tanda-tanda yang ada dalam film. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, dengan mengumpulkan 15 gambar dari adegan-adegan dalam film "A Man Called Ahok" yang menampilkan sikap dermawan tokoh utama. Analisis dilakukan menggunakan teori semiotika untuk memahami tiga tingkat makna: denotasi, konotasi, dan mitos.

            HAsil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa film "A Man Called Ahok" mengandung pesan moral tentang sikap dermawan yang jelas dan kuat, yang diungkapkan melalui berbagai adegan. Analisis makna dilakukan dengan mengkategorisasikan tanda-tanda yang ada dalam film ke dalam tiga tingkatan makna sebagai berikut:

  1. Makna Denotasi:

    • Gambar-gambar yang menunjukkan tokoh Ahok membantu orang lain secara langsung, seperti memberikan bantuan finansial atau mendukung masyarakat dalam kesulitan, menunjukkan tindakan nyata dari sikap dermawan.
  2. Makna Konotasi:

    • Adegan-adegan tersebut tidak hanya menunjukkan tindakan membantu, tetapi juga menyiratkan nilai-nilai kemanusiaan dan empati yang lebih dalam. Konotasi ini memperkuat pesan bahwa sikap dermawan adalah bagian integral dari karakter Ahok dan menunjukkan kepeduliannya terhadap orang lain tanpa memandang status sosial.
  3. Makna Mitos:

    • Pada tingkat mitos, film ini menggambarkan Ahok sebagai simbol dari figur pemimpin yang ideal dan dermawan. Sikap dermawan Ahok dilihat sebagai bagian dari mitos kepahlawanan modern di mana pemimpin yang baik adalah mereka yang peduli dan berkorban untuk kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini membuktikan bahwa pesan moral mengenai sikap dermawan dalam film "A Man Called Ahok" tidak hanya sesuai dengan karakteristik tokoh utama, tetapi juga berfungsi untuk menginspirasi penonton tentang pentingnya empati dan kedermawanan dalam kehidupan sehari-hari.

 

            JURNAL 13

        JUdul : Representasi Male Gaze dalam Film Biografi ‘Lovelace’ (Analisis Semiotika John Fiske)

        penulis : Fatima Meutia Rachma, Himmatul Ulya

        Link : http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah/article/view/3813

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan membongkar representasi perempuan dalam film "Lovelace" sebagai kelompok rentan yang menjadi alat bagi keuntungan industri perfilman dengan menerapkan pengaruh kuasa laki-laki atas perempuan. Secara khusus, penelitian ini ingin mengetahui peran perempuan sebagai seorang bintang porno yang menyuarakan ceritanya untuk membebaskan diri dari belenggu suaminya.

Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis semiotika dengan pendekatan teori John Fiske, serta analisis teori "male gaze" dari Laura Mulvey. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk melihat tanda dan kode yang muncul dalam film "Lovelace" melalui tiga level analisis

Level Realitas:
Menganalisis elemen-elemen visual dan audio dalam film yang merepresentasikan kehidupan nyata, seperti kostum, setting, dan dialog, untuk memahami bagaimana realitas perempuan sebagai bintang porno ditampilkan.
Level Representasi:
Menganalisis cara film ini merepresentasikan perempuan melalui narasi dan struktur cerita, termasuk bagaimana karakter utama, Linda Lovelace, digambarkan dalam upayanya untuk membebaskan diri dari kekerasan dan eksploitasi.
Level Ideologi:
Menganalisis ideologi yang mendasari representasi tersebut, khususnya ideologi patriarki dan perspektif laki-laki (male gaze) yang mendominasi penceritaan dalam film.
 

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa film "Lovelace" secara transparan menggunakan perspektif laki-laki dan membuat peran perempuan sebagai objek seksual yang dibentuk sesuai dengan sudut pandang laki-laki, bukan dari sudut pandang perempuan sebagai korban kekerasan.

Level Realitas:

  • Film ini menggunakan elemen visual dan audio yang sangat jelas untuk menggambarkan Linda Lovelace sebagai objek seksual, dengan fokus pada penampilan fisik dan situasi yang menekankan eksploitasi seksual.

Level Representasi:

  • Narasi film memperkuat posisi perempuan sebagai objek melalui alur cerita yang menyoroti pengalaman Linda dari sudut pandang dominasi laki-laki. Representasi ini menggambarkan Linda sebagai korban yang terjebak dalam sistem yang menguntungkan industri pornografi dan kekuasaan patriarki.

Level Ideologi:

  • Ideologi yang mendasari film ini adalah ideologi patriarki yang terlihat melalui penggunaan "male gaze", di mana sudut pandang laki-laki mendominasi, mengobjektifikasi, dan mereduksi perempuan menjadi sekadar alat pemuas nafsu. Film ini tidak memberikan ruang yang cukup untuk perspektif perempuan sebagai korban yang berjuang untuk kebebasan dan keadilan.

Secara keseluruhan, penelitian ini mengungkapkan bahwa "Lovelace" memperlihatkan bagaimana perempuan dijadikan alat oleh industri perfilman melalui eksploitasi seksual yang didorong oleh dominasi perspektif laki-laki, sekaligus menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ideologi patriarki dalam menggambarkan peran perempuan dalam film.

 

        JURNAL 14


        Judul : ANALISIS SEMIOTIKA FILM THE SOCIAL DILEMMA

        penulis : Siti Ashfiasari1, Mariati Tirta Wiyata

        Link : https://core.ac.uk/download/pdf/478968788.pdf

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai penyampaian maksud dalam film dokumenter "The Social Dilemma". Tujuan spesifiknya adalah untuk menganalisis bagaimana film ini menggambarkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan media sosial melalui tanda-tanda yang ada di dalamnya.

    Metode

 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis semiotika berdasarkan teori Charles Sanders Pierce. Pendekatan ini melibatkan analisis terhadap tanda-tanda yang muncul dalam film untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Teori semiotika Charles Sanders Pierce mengklasifikasikan tanda menjadi tiga kategori utama: ikon (tanda yang menyerupai objeknya), indeks (tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan objeknya), dan simbol (tanda yang berhubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi atau aturan).

    Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa "The Social Dilemma" mengandung banyak tanda yang berhasil menggambarkan dampak negatif media sosial. Analisis berdasarkan teori semiotika Charles Sanders Pierce menunjukkan bahwa film ini secara efektif menggunakan tanda-tanda untuk menyampaikan pesan-pesan kunci.

  1. Ikon: Visual dan grafik yang menyerupai algoritma dan antarmuka pengguna media sosial digunakan untuk menunjukkan bagaimana platform tersebut bekerja. Misalnya, animasi yang menunjukkan notifikasi atau feed media sosial menggambarkan bagaimana pengguna terus-menerus terpapar konten yang dapat mempengaruhi mereka.

  2. Indeks: Testimoni dari mantan pegawai dan eksekutif perusahaan media sosial bertindak sebagai indeks yang menunjukkan hubungan langsung antara penggunaan media sosial dan dampak negatifnya. Pernyataan mereka memberikan bukti sebab-akibat dari praktik di balik layar yang memengaruhi perilaku pengguna.

  3. Simbol: Dialog dan narasi dalam film mengandung simbol-simbol yang merujuk pada konsep-konsep seperti "ketergantungan", "manipulasi", dan "eksploitasi". Penggunaan istilah-istilah ini sesuai dengan konvensi sosial yang menggambarkan dampak media sosial secara luas dan diterima oleh masyarakat.

Film "The Social Dilemma" berhasil dikemas dengan baik, di mana maksud sutradara untuk menyampaikan dampak negatif dari penggunaan media sosial tersampaikan melalui tanda-tanda yang dibuat dan disampaikan oleh setiap unsur dalam film tersebut. Tanda-tanda ini tidak hanya menggambarkan dampak negatif secara umum, tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang mekanisme di balik layar yang menyebabkan dampak tersebut.

 

    JURNAL 15 

        Judul : Analisis Semiotika Film The Visitor

        penulis : Rita Kurniawat

        Link: https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/40380

     

 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami pesan serta simbol-simbol yang tersurat maupun tersirat dalam film "The Visitor" yang disutradarai oleh Thomas McCarthy. Fokus penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pesan-pesan tersebut disampaikan melalui teori semiotika Roland Barthes, khususnya melalui konsep denotasi, konotasi, dan mitos. Tujuan akhirnya adalah untuk mengetahui bagaimana pesan tentang imigrasi dan kehidupan imigran gelap di Amerika Serikat disampaikan dan diterima oleh penonton.

    Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Pendekatan ini melibatkan analisis mendalam terhadap simbol-simbol dan tanda-tanda yang muncul dalam film menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

  • Denotasi:
    Analisis pada level ini melihat tanda-tanda dalam bentuk yang paling sederhana dan literal. Ini melibatkan deskripsi dasar dari apa yang terlihat dan terdengar dalam film, seperti dialog, pengambilan gambar, dan gerakan para pemain.
  • Konotasi:
    Analisis konotasi melihat makna-makna tambahan yang melekat pada tanda-tanda tersebut. Ini melibatkan interpretasi yang lebih dalam mengenai apa yang dimaksudkan oleh tanda-tanda tersebut dan bagaimana mereka menggambarkan emosi, nilai-nilai, dan pandangan dunia.Mitos:
    Analisis mitos mengidentifikasi dan menginterpretasi pesan-pesan ideologis yang lebih luas yang disampaikan melalui tanda-tanda tersebut. Ini melibatkan pemahaman tentang bagaimana film mencerminkan atau menantang norma-norma sosial dan budaya yang ada
  •    Hasil 

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa "The Visitor" menggunakan berbagai tanda dan simbol untuk menyampaikan pesan tentang isu-isu imigrasi dan kehidupan imigran gelap.

    1. Denotasi:

      • Film ini menampilkan cerita tentang Walter, seorang profesor yang menemukan imigran gelap dari Afrika tinggal di apartemennya. Adegan-adegan ini menunjukkan interaksi sehari-hari dan tantangan yang dihadapi oleh para imigran tersebut.
    2. Konotasi:

      • Interaksi antara Walter dan para imigran menggambarkan perkembangan hubungan dan perubahan sikap Walter terhadap mereka. Konotasi yang muncul mencakup tema-tema seperti empati, kemanusiaan, dan transformasi pribadi. Misalnya, adegan-adegan di mana Walter belajar bermain drum bersama Tarek menunjukkan kedekatan dan keterbukaan yang berkembang di antara mereka.
    3. Mitos:

      • Pada level mitos, film ini menyoroti isu-isu besar seperti kebijakan imigrasi, identitas nasional, dan xenophobia. Film ini mengkritik sistem imigrasi Amerika Serikat yang dianggap tidak adil dan dehumanisasi terhadap imigran. Mitos yang terbentuk adalah bahwa Amerika Serikat, meskipun dianggap sebagai tanah peluang, masih memiliki banyak tantangan dan ketidakadilan yang harus dihadapi oleh imigran.

    Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa film "The Visitor" berhasil menyampaikan pesan-pesan penting tentang imigrasi dan kehidupan imigran melalui penggunaan tanda dan simbol yang cermat. Melalui analisis semiotika, terlihat bahwa film ini tidak hanya bercerita tentang pengalaman individu, tetapi juga menyampaikan kritik sosial dan politik yang lebih luas tentang kondisi imigrasi di Amerika Serikat.

         JURNAL 16

            Judul : PENGGAMBARAN STEREOTYPE MENGENAI IDENTITAS DALAMFILM “ZOOTOPIA” (ANALISIS SEMIOTIKA FERDINAND DESAUSSURE)

            Penulis :Kenneth Nathaniel

            Link : https://repository.mercubuana.ac.id/47940/

    Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggambaran stereotipe mengenai identitas dalam film "Zootopia". Dengan menggunakan metode analisis semiotika Ferdinand De Saussure, penelitian ini berusaha untuk mengungkap bagaimana stereotipe dan identitas dikonstruksi dan ditampilkan melalui karakter dan narasi dalam film tersebut.

    Metode 

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif. Metode analisis yang digunakan adalah semiotika Ferdinand De Saussure, yang melibatkan studi tentang tanda-tanda dan simbol-simbol serta bagaimana mereka berfungsi untuk menghasilkan makna. Dalam konteks penelitian ini, analisis akan difokuskan pada tanda-tanda dalam film "Zootopia" yang berhubungan dengan stereotipe dan identitas.

    Hasil

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa film "Zootopia" secara jelas menggambarkan berbagai stereotipe yang melekat pada identitas hewan-hewan yang ada di dalamnya.

    1. Signifier dan Signified:

      • Signifier (Penanda): Gambar atau visual dari karakter hewan di Zootopia.
      • Signified (Petanda): Makna atau konsep yang diasosiasikan dengan karakter tersebut, seperti kelicikan rubah atau kelambatan sloth.
    2. Stereotipe dan Identitas:

      • Stereotipe Rubah: Nick Wilde, karakter rubah dalam film, digambarkan sebagai licik dan cerdik, stereotipe yang sering melekat pada rubah. Namun, seiring perkembangan cerita, terungkap bahwa stereotipe tersebut tidak sepenuhnya benar dan Nick memiliki sifat-sifat lain yang tidak terduga.
      • Stereotipe Kelinci: Judy Hopps, karakter kelinci, menghadapi stereotipe sebagai hewan kecil dan lemah yang tidak cocok menjadi polisi. Film ini menunjukkan perjuangan Judy melawan stereotipe tersebut untuk membuktikan bahwa ia mampu menjadi seorang polisi yang kompeten.
    3. Kekerasan Simbolik:

      • Film ini menunjukkan bahwa stereotipe seringkali digunakan sebagai bentuk kekerasan simbolik, di mana hewan berbadan besar atau dianggap lebih kuat mendominasi hewan yang lebih kecil atau dianggap lebih lemah. Contoh nyata dari ini adalah perlakuan diskriminatif yang dihadapi oleh Judy sebagai kelinci dalam akademi kepolisian yang didominasi oleh hewan-hewan besar.
      • Kekerasan simbolik juga terlihat dalam bagaimana karakter predator digambarkan memiliki kecenderungan untuk kembali ke sifat liar mereka, yang merupakan bentuk stereotipe negatif dan menghasilkan ketakutan serta diskriminasi terhadap mereka.
    4. Dekonstruksi Stereotipe:

      • Film "Zootopia" berusaha mendekonstruksi stereotipe dengan menunjukkan bahwa identitas individu tidak selalu sesuai dengan stereotipe yang melekat pada spesies mereka. Judy membuktikan bahwa kelinci bisa menjadi polisi yang tangguh, sementara Nick menunjukkan bahwa rubah bisa menjadi teman yang setia dan jujur.

    Kesimpulan

    Penelitian ini menyimpulkan bahwa "Zootopia" tidak hanya menggambarkan stereotipe tetapi juga mengkritik dan mendekonstruksi mereka. Melalui karakter-karakter dan narasi yang kuat, film ini menunjukkan bahwa stereotipe adalah bentuk kekerasan simbolik yang dihasilkan dari kekuasaan dan dominasi. Dengan menganalisis tanda-tanda dan simbol-simbol dalam film menggunakan teori semiotika Ferdinand De Saussure, penelitian ini berhasil mengungkap pesan-pesan mendalam tentang identitas dan stereotipe serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat.

            JURNAL 16

            JJudul : ANALISIS SEMIOTIKA FILM JEPANG “ANO HANA LIVE ACTION”

            Penulis : Prayoga Chaerul Fajar

            Link : http://repository.unpas.ac.id/11730/

    Tujuan 

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penanda, petanda, dan realitas eksternal yang terdapat dalam film Jepang "Ano Hana Live Action". Dengan demikian, penelitian ini berusaha mengungkap pesan moral yang terkandung dalam film tersebut.

    Metode 

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis semiotika berdasarkan teori Ferdinand de Saussure. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi:

    • Studi Kepustakaan: Mengumpulkan data dari berbagai literatur yang relevan dengan film dan teori semiotika.
    • Observasi: Melakukan pengamatan langsung terhadap film "Ano Hana Live Action" untuk mengidentifikasi dan mencatat penanda dan petanda.
    • Wawancara Mendalam: Melakukan wawancara dengan individu-individu yang memiliki pemahaman mendalam tentang film tersebut dan konteksnya.

     

    Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan:

    1. Reduksi Data: Menyaring dan merangkum data yang telah dikumpulkan untuk fokus pada informasi yang relevan.
    2. Penyajian Data: Menyajikan data yang telah diringkas dalam bentuk yang terorganisir sehingga dapat dianalisis lebih lanjut.
    3. Penarikan Kesimpulan: Menginterpretasikan data yang telah disajikan untuk menghasilkan kesimpulan mengenai penanda, petanda, dan pesan moral dalam film.

     Hasil

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film "Ano Hana Live Action" memiliki sebelas adegan yang mengandung pesan moral. Pesan moral yang ditemukan dalam film tersebut meliputi:

    1. Selalu Mengingat Hal yang Buruk: Mengajarkan pentingnya mengingat dan belajar dari kesalahan masa lalu.
    2. Penyesalan: Menunjukkan dampak emosional dari penyesalan dan pentingnya mengatasi rasa bersalah.
    3. Berbohong: Menyoroti konsekuensi negatif dari kebohongan dan pentingnya kejujuran.
    4. Jangan Berusaha Sendiri: Menekankan pentingnya bekerja sama dan mendapatkan dukungan dari orang lain.
    5. Bekerja Keras Demi Orang Lain: Mendorong sikap altruistik dan kerja keras untuk kesejahteraan orang lain.

             JURNAL 17

        Judul : PEMAKNAAN PENDIDIKAN SEKS DALAM FILM “ DUA GARIS BIRU

        Penulis  :  ALMA, SHALIKAH RATILA

        Link  : https://repository.mercubuana.ac.id/58143/

     

    Tujuan

     Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tanda-tanda yang mengandung nilai-nilai pendidikan seks dalam film "Dua Garis Biru". Dengan memahami dan mengidentifikasi tanda-tanda tersebut, penelitian ini berharap dapat mengungkap cara film ini menyampaikan pesan-pesan pendidikan seks kepada penontonnya.

    Metode

    Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah analisis semiotika berdasarkan teori Ferdinand de Saussure.

    1. Pengumpulan Data Primer: Menonton film "Dua Garis Biru" secara berulang kali untuk mengidentifikasi adegan-adegan yang mengandung pesan-pesan pendidikan seks.
    2. Pengambilan Gambar: Mengambil gambar dari adegan-adegan yang dianggap representatif untuk pendidikan seks.
    3. Analisis Tanda: Menganalisis tanda-tanda yang muncul dalam adegan tersebut, baik yang bersifat verbal (dialog) maupun non-verbal (gestur, ekspresi, dan elemen visual lainnya).

    Proses analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan:

    1. Reduksi Data: Memilih dan merangkum data yang relevan dari film, fokus pada adegan-adegan yang memiliki nilai pendidikan seks.
    2. Penyajian Data: Menyusun data yang telah direduksi dalam bentuk narasi deskriptif dan visual untuk memudahkan analisis lebih lanjut.
    3. Penarikan Kesimpulan: Menginterpretasikan data untuk menghasilkan kesimpulan mengenai cara film "Dua Garis Biru" menyampaikan pesan pendidikan seks.

    Hasil

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan seks dalam film "Dua Garis Biru" tergambarkan melalui berbagai adegan yang telah dianalisis.

    1. Proses Terjadinya Pembuahan dan Kehamilan: Adegan-adegan yang menggambarkan konsekuensi dari hubungan seksual, seperti kehamilan remaja, memberikan edukasi mengenai proses biologis pembuahan dan kehamilan.
    2. Tingkah Laku Seksual dan Hubungan Seksual: Representasi dialog dan tindakan karakter yang menunjukkan tingkah laku seksual, memberikan pemahaman mengenai dinamika hubungan seksual.
    3. Aspek Kesehatan, Kejiwaan, dan Kemasyarakatan: Adegan-adegan yang menunjukkan dampak kehamilan remaja pada kesehatan fisik dan mental, serta tanggapan sosial dari keluarga dan masyarakat.

             

              JURNAL 18

               Judul : ANALISIS SEMIOTIKA JOHN FISKE PADA FILM KKN DI DESA PENARI

               Penulis : Muhammad Rasikh Noor ‘Alim, Arif Ardy Wibowo

               Link :  http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/12100

    Tujuan 

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis unsur tanda yang berkaitan dengan budaya atau adat dalam film "KKN di Desa Penari". Penelitian ini ingin memahami bagaimana elemen-elemen budaya dan adat digunakan dalam film untuk membangun suasana horor, serta makna ideologi yang terkandung di dalamnya.

    Metode 

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka yang melibatkan pemahaman dan pembelajaran teori-teori dari berbagai literatur terkait. Data dikumpulkan melalui pencarian sumber dan rekonstruksi dari beragam referensi, termasuk analisis film secara mendalam.

    Hasil

    Hasil analisis terhadap setiap adegan yang mengacu pada unsur budaya dalam film "KKN di Desa Penari" menunjukkan beberapa temuan

    1. Tingkat Realitas:

      • Pakaian dan Benda Tradisional: Film ini menggunakan pakaian tradisional dan benda-benda adat sebagai elemen penting dalam menciptakan suasana mistis. Misalnya, penggunaan kain batik dan alat-alat ritual tradisional.
      • Lingkungan dan Arsitektur: Lingkungan desa dan rumah-rumah tradisional digambarkan secara rinci untuk menonjolkan elemen budaya dan menambah kesan horor.
      • Perilaku: Karakter dalam film sering melakukan ritual dan perilaku yang berkaitan dengan adat, seperti upacara adat dan penggunaan mantra.
    2. Tingkat Representasi:

      • Teknik Pengambilan Gambar: Penggunaan teknik close-up dan sudut pandang kamera yang menekankan elemen tradisional dan suasana horor.
      • Pencahayaan: Pencahayaan yang gelap dan kontras tinggi digunakan untuk menambah efek dramatis dan mistis.
      • Musik: Alunan musik sinden dan suara-suara tradisional digunakan untuk menciptakan suasana yang menegangkan dan menakutkan.
    3. Tingkat Ideologi:

      • Konflik dan Alur Cerita: Film ini mengandung makna ideologi konservatif yang berusaha mengembalikan dan mempertahankan tatanan kehidupan berdasarkan nilai-nilai tradisional. Alur cerita sering kali menunjukkan konflik antara modernitas dan tradisi, dengan penekanan pada pentingnya menghormati dan mengikuti adat.
      • Pesan Moral: Ada pesan kuat tentang pentingnya menjaga tradisi dan adat istiadat sebagai bagian dari identitas budaya dan sumber kesejahteraan masyarakat

     

     Kesimpulan

    Simpulan bahwa film "KKN di Desa Penari" secara efektif menggunakan elemen-elemen budaya dan adat untuk membangun suasana horor. Melalui analisis semiotika, ditemukan bahwa film ini tidak hanya menyajikan hiburan tetapi juga menyampaikan pesan ideologis yang mendalam tentang pentingnya mempertahankan dan menghormati nilai-nilai tradisional. Film ini menggambarkan bahwa konservatisme dalam budaya dapat memberikan kesejahteraan dan stabilitas bagi masyarakat. 

     

        JURNAL19

        Judul :Representasi Budaya Jepang Dalam Film “The Last Samurai”
    (Studi Semiotika Peirce)

        Penulis :Hikmatul Izza1, Muh. Aswan Zanynu2, Marsia Sumule

         Link : https://shorturl.asia/IBmqv

    Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi representasi budaya Jepang dalam film "The Last Samurai" (2003) dengan menganalisis penggunaan tanda-tanda budaya Jepang dalam setiap adegan film

  • Mengidentifikasi tanda-tanda ikon, indeks, dan simbol yang merepresentasikan budaya Jepang dalam adegan film.
  • Menganalisis peran dan signifikansi tanda-tanda tersebut dalam konteks naratif dan sinematik film.
  • Memahami bagaimana konsep-konsep budaya Jepang, seperti bushido, ojigi, dan hara-kiri, direpresentasikan dan diterjemahkan dalam medium film Hollywood.
  •  

    Metode

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis analisis teks media, dengan fokus pada teori semiotika Peirce. Metode penelitian ini melibatkan dua tahap utama:

    1. Analisis Adegan Film: Peneliti menganalisis setiap adegan film "The Last Samurai", mengidentifikasi dan menggambarkan tanda-tanda budaya Jepang yang muncul dalam adegan tersebut. Ini melibatkan pengamatan langsung terhadap elemen-elemen visual, perilaku karakter, dan konteks naratif.
    2. Analisis Semiotika: Data yang dikumpulkan dari analisis adegan kemudian dianalisis menggunakan kerangka teori semiotika Peirce. Tanda-tanda budaya Jepang dalam film diidentifikasi sebagai ikon, indeks, atau simbol, dan dianalisis untuk memahami maknanya dalam representasi budaya Jepang dalam film.

     Hasil

    1. Terdapat penggunaan tanda-tanda ikon, indeks, dan simbol yang signifikan dalam representasi budaya Jepang dalam "The Last Samurai".
    2. Unsur-unsur budaya Jepang, seperti konsep bushido, ojigi, dan hara-kiri, diwakili secara kuat dalam adegan-adegan film.
    3. Konsep-konsep budaya Jepang tersebut berfungsi sebagai bagian integral dari unsur naratif dan sinematik film, menyumbang pada pembentukan identitas karakter dan pengembangan cerita.
    4. Representasi budaya Jepang dalam "The Last Samurai" mempengaruhi persepsi penonton tentang budaya Jepang dan memainkan peran penting dalam pembentukan citra budaya Jepang di tingkat internasional.

    Dengan demikian, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana budaya Jepang direpresentasikan dalam film Hollywood dan implikasinya terhadap konstruksi budaya dan identitas nasional dalam konteks globalisasi media.

     

             JURNAL 20

             Judul :

             Penulis:

             Link :

         

     Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki analisis pesan moral dalam drama Korea "Hospital Playlist", serta untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk pesan moral yang disampaikan dalam drama tersebut, dan bagaimana pengaruh pesan moral tersebut terhadap para penggemar drama tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian isi. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.

     

    Metode

    Penelitian ini menggunakan teori Analisis Semiotika Roland Barthes untuk menganalisis pesan moral yang terkandung dalam drama "Hospital Playlist". Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai moral seperti tanggung jawab, sopan santun, kejujuran, dan tidak berprasangka buruk merupakan tema utama yang tersirat dalam drama ini. Partisipan wawancara menyatakan bahwa drama "Hospital Playlist" memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemahaman mereka akan nilai-nilai tersebut.

    Hasil 

    Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pesan moral dari drama "Hospital Playlist" memiliki dampak emosional yang kuat dan berdampak pada perilaku penontonnya. Hal ini mengindikasikan bahwa drama Korea tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga memiliki potensi untuk mempengaruhi pemirsa dalam hal nilai-nilai moral dan perilaku.

    Kesimpulan

    Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa drama Korea "Hospital Playlist" tidak hanya merupakan hiburan semata, tetapi juga sebuah media yang menyampaikan pesan moral yang mendalam. Melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode penelitian isi dan teori Analisis Semiotika Roland Barthes, penelitian ini berhasil mengidentifikasi nilai-nilai moral yang terkandung dalam drama tersebut, seperti tanggung jawab, sopan santun, kejujuran, dan sikap tidak berprasangka buruk.

    Kesimpulannya, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang peran dan pengaruh pesan moral dalam drama Korea, serta pentingnya penggunaan media hiburan sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai positif kepada masyarakat. Sebagai saran, penelitian ini menekankan pentingnya kesadaran bagi para penggemar drama untuk memilih tontonan yang mempromosikan pesan moral yang baik, serta memberikan motivasi bagi pembuat film untuk terus menciptakan karya dengan pesan moral yang kuat untuk kesejahteraan dan pembangunan masyarakat secara


     

     

    Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    ANALISIS SEMIOTIKA FILEM ALICE IN BORDERLAND

    ANALISIS SEMIOTIKA ROLAN BARTHES POSTER FILEM ALICE IN BORDERLAND

    T-1 Mengenai Diri Sendiri